Rabu, 09 Desember 2015

Mengubah Kata "Impossible" Jadi "Profit"

Tidak mudah menjadi entrepreneur. Mungkin slogan itu sering kita dengar, baik dalam pembicaraan sehari-hari ataupun dari referensi lain.

Memang benar adanya, meskipun ada beberapa pengecualian. Tapi secara umum, perjalanan untuk menjadi entrepeneur yang sukses itu panjang dan berliku. Ibarat Thomas Alfa Edison yang butuh 900 kali kegagalan untuk meraih satu kesuksesan. Hanya 1 berbanding 900 kali percobaan.



Bisa dibayangkan ketekunan macam apa yang mampu mengantarkan Edison berhasil. Ataukah strategi apa yang dipakai hingga dia berhasil di percobaan ke-901?

Secara karakter, ada kemiripan antara percobaan Edison dengan sifat entrepreneur. Trial and error. Percobaan demi percobaan. Bahkan, entreprenur jauh lebih sadis: mengecilkan kegagalan dan memperbesar peluang keberhasilan.

Bagi entrepreneur, berdasarkan sumber sejumlah referensi, ruang untuk percobaan yang gagal itu demikian sempit sehingga pensil pun tidak akan masuk dalam lubang tersebut.

Kata-kata tantangan, rintangan, hambatan, keterbatasan, kekurangan menjadi makanan sehari-hari yang harus dihadapi dan dipecahkan. Dalam kondisi tersebut, masih ada satu kata yang harus dicapai, yakni pertumbuhan.

It's feels like impossible. Dalam kondisi serba kekurangan, bagaimana kita bisa mengejar pertumbuhan. Mana mungkin?

Dalam tataran konsep mungkin bisa, tapi bagaimana realitasnya? Apakah sama?

Di sinilah keunikan entrepeneur. Seperti karet, dia elastis dan fleksibel untuk mencari jalan untuk mencapai tujuan. Find another angle. Temukan strategi lain, jalan lain, taktik lain. Karena, dalam kesulitan pasti ada kemudahan. Dan dalam pertumbuhan, pasti ada profit.(*)

Senin, 07 Desember 2015

Memahami Bisnis Digital Lebih Awal

Boleh jadi tahun 2015 yang sebentar lagi kita tinggalkan adalah tahun digital. Mengapa begitu? Di tengah perlambatan ekonomi Indonesia, depresiasi rupiah, kejatuhan harga komoditas, bisnis digital justru makin mengkilap.

Berbagai brand digital seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya justru makin bersinar ketika bisnis di industri lain mengalami penurunan. Apakah ini sekedar siklus atau justru telah membentuk tren tersendiri?



Dari berbagai referensi barulah diketahui ini sudah membentuk tren global. Google, Facebook, Whatsapp, Twitter telah memulai tren ini dan meroket dengan jumlah user hingga miliaran orang di seluruh penjuru dunia.

Menunggangi penetrasi smartphone, Google, Facebook, Whatsapp makin mengukuhkan diri di dunia. Secara umum, smartphone merupakan perangkat komputasi yang sudah jadi bagian hidup sehari-hari orang banyak. Hadapi kenyataan ini: smartphone anda lebih tahu siapa anda dibandingkan diri anda sendiri.

Saat ini smartphone adalah mesin tambang emas. Emas itu adalah data anda. Data ini tidak sekedar nama, gender, usia dan lokasi yang datanya anda masukkan ketika registrasi akun untuk mengakses Android (atau iPhone). Google tahu hobi dan perilaku anda dari aplikasi yang anda install dari Playstore. Mereka bisa secara presisi tahu lokasi anda dan tempat-tempat yang anda kunjungi lewat GPS untuk membaca minat anda.



Lewat email yang masuk ke smartphone, Google bisa tahu pekerjaan, relasi dan minat. Bahkan, bila anda sudah memakai Google Wallet yang bisa digunakan sebagai alat pembayaran ke mesin EDC dengan cara tapping, Google tahu berapa pengeluaran anda dan dimana anda berbelanja. Data2 ini masih ditambah dengan data yang mereka dapatkan ketika anda menggunakan perangkat komputasi lain, PC contohnya. Kebetulan browser paling banyak dipakai adalah Chrome yang disinkronkan dengan akun Google anda. Situs apa yang anda kunjungi, berapa lama anda bertahan di situs tersebut, aktivitas apa yang anda lakukan, Google tahu. Inilah tren yang merebak saat ini.(*)