Kamis, 04 Februari 2016

Mengapa di Sektor Industri Banyak Terjadi PHK?

Kelesuan ekonomi di Indonesia telah dialami bersama. Data terbaru menurut Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 4,79% sepanjang 2015, atau melemah dibanding realisasi 2014 sebesar 5%. Kejutan terjadi justru di kuartal IV 2015, perekonomian Indonesia masih menurut BPS tumbuh 5,04%. Itu berarti sebenarnya mulai terjadi rebound (pembalikan arah) dari perlambatan ke pertumbuhan. Tapi mengapa di sektor industri justru banyak bertebaran kabar pemutusan hubungan kerja (PHK)?

Sejumlah brand besar seperti Toshiba, Panasonic, Ford, Chevron, hingga United Tractors terpaksa harus mengurangi jumlah pekerja secara signifikan. Apakah itu isyarat daya saing Indonesia di mata brand-brand dunia tersebut mulai pudar, atau ada sebab lain? Bagaimana di kuartal I 2016?

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menghantui Indonesia sepanjang kuartal I-2016. Kondisi PHK massal atau dikenal dengan istilah layoff ini dimulai sejak semester I 2015 yang berawal dari industri tekstil (tekstil hulu dan garmen), sepatu, rokok hingga ke ritel, semen dan pertambangan batubara, kemudian menjalar pada kuartal I 2016 ke industri elektronik, otomotif, alat berat, serta minyak dan gas (migas).

Kelesuan ekonomi nasional yang diperparah dengan kejatuhan harga komoditas serta fluktuasi kurs menekan daya beli konsumen, sehingga terjadi penurunan permintaan dan kondisi overstock. Akumulasi kondisi tersebut membuat beban operasional dan produksi melampaui pendapatan sehingga pelaku industri terpaksa melakukan efisiensi yang salah satunya berupa pengurangan tenaga kerja.

Menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, perusahaan elektronik dan sektor industri lainnya akan melakukan PHK secara bertahap hingga Maret 2016. “Sejak Januari hingga Maret kita melihat dari Panasonic dan Toshiba itu ada 2.145 orang yang akan di-PHK, Shamoin 1.166 orang, dan Starlink 452 orang. Perusahaan perminyakan lebih besar lagi, yang sudah melapor ke kami saja hampir 5.000 orang yang akan terkena PHK,” ujar Iqbal.

Dia melanjutkan, hingga Maret 2016 diperkirakan masih akan terdapat beberapa perusahaan yang melakukan PHK. Bahkan, berdasarkan data dari KSPI, terdapat 13 perusahaan yang akan melakukan PHK hingga Maret 2016, yaitu Panasonic, Toshiba, Shamoin, Starlink, Jaba Garmindo, Yamaha, Astra Honda Motor, Hino, Astra Komponen, AWP, Aishin, Musashi, dan Sunstar.

“Kami perkirakan lebih dari 10 ribu dari Januari sampai Maret 2016. Apabila ini dibiarkan maka jumlahnya akan sama dengan total PHK tahun lalu yang mencapai 50 ribu pekerja di-PHK,” paparnya.

Pada akhir 2015, Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Syntethic Fiber Indonesia (Apsyfi), menjelaskan pelemahan ekonomi serta membanjirnya produk impor telah mempengaruhi kinerja penjualan industri hulu tekstil yang memproduksi serat sintetis, benang, dan kain. Menurut dia, akibat penurunan penjualan, produsen tekstil hulu telah menurunkan utilisasi hingga 30%. Dengan kondisi tersebut, sekitar delapan perusahaan tekstil hulu terpaksa me-layoff sekitar 1.000 pekerja. “Sekitar 400 pekerja di-PHK dan 600 lainnya dirumahkan,” katanya.

Pada awal Februari 2015, kabar kurang sedap muncul dan mengguncang industri elektronik nasional. Dua perusahaan raksasa elektronik asal Jepang, yakni Toshiba dan Panasonic, menutup pabriknya di Indonesia awal tahun ini, sehingga menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 2.500 karyawan.

Salah satu eksekutif Toshiba Consumer Products yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, total karyawan perusahaan memang sebanyak 900 orang. Namun, akhir Maret nanti hanya akan ada PHK terhadap sekitar 360 orang. “Total buruh Toshiba sekarang 900 orang, yang di-PHK akhir Maret nanti 360-an saja,” ujarnya saat dihubungi wartawan di Jakarta.

Pihak Toshiba juga menjelaskan PHK dilakukan bukan karena pabrik mau ditutup tapi akan diambil alih oleh perusahaan asal China. Selain itu, produksi TV tahun lalu diakui turun menjadi 30.000 unit dari total kapasitas 350.000 unit setahun.

PT United Tractors Tbk (UNTR), emiten alat berat dan tambang batubara yang juga menjadi anak usaha PT Astra Internasional Tbk (ASII), menyiapkan sejumlah opsi untuk memangkas jumlah tenaga kerja. Strategi itu dilakukan seiring anjloknya harga komoditas dunia, teritama batubara, yang memberikan dampak signifikan terhadap kinerja keuangan perseroan.

Dalam siaran persnya di Jakarta, Direktur United Tractors Iwan Hadiantoro menerangkan untuk penyesuaian tenaga kerja perseroan memiliki beberapa pilihan seperti, pengaturan waktu kerja, lalu tidak memperpanjang kontrak yang telah habis masa kontraknya. “Kami juga ada program pengunduran diri secara sukarela atau voluntary resignation,” ujarnya.



Menurut Iwan, program pengunduran diri secara sukarela yang diberikan perseroan ini telah berakhir dan ditutup pada akhir tahun 2015 lalu. Namun demikian, rencana perseroan dan grup perusahaan tersebut tidak akan mempengaruhi kelangsungan usaha. Soal opsi pengunduran diri secara sukarela untuk efisiensi, United Tractors dikabarkan harus merumahkan sekitar 1.500 dari 23.000 karyawan di sektor pertambangan.

Kondisi serupa dialami sektor industri migas nasional. PT Chevron Indonesia, perusahaan migas asing, dikabarkan melakukan efisiensi salah satunya dengan pemutusan hubungan kerja pada karyawannya. Sebanyak 1.500 karyawan dikabarkan bakal kena PHK.

Vice President Policy Government and Public Affairs Chevron Pacific Indonesia,‎ Yanto Sianipar membenarkan perusahaannya sedang melakukan efisiensi. Namun dirinya enggan menyebut langkah yang dilakukan ini merupakan pemutusan hubungan kerja. “Sebenarnya lebih bagus disebut efisiensi,” kata Yanto.(*)

Sumber: di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar