Senin, 30 April 2018

Menelaah Standar Keberlanjutan Kelapa Sawit di Balik Isu Deforestasi

Isu consensus global dalam standar keberlanjutan kelapa sawit dinilai membutuhkan upaya kolaborasi dari multistakeholders. Upaya kolaborasi akan mengurangi kesenjangan antara berbagai standar yang telah ada, sehingga memunculkan persamaan bersama.

Hal itu menjadi pembahasan dalam konferensi internasional ICOPE 2018 sesi 11 di Nusa Dua Bali, Jumat (27/4). ICOPE 2018 sendiri diselenggarakan selama tiga hari pada 25-27 April 2018, yang dihadiri lebih dari 400 delegasi dari 30 negara. Di sesi ke-11 ICOPE 2018, bertindak sebagai moderator adalah Alain Rival, Regional Director of CIRAD, dan menghadirkan 5 pembicara yakni Michael Buki, European Union Delegation to Indonesia, Tiur Rumondang, Director of Operations RSPO Indonesia, Azis Hidayat, Head of the Secretariat ISPO, Stephen Krecik, Co Founder Rainforest Alliance Indonesia, serta Andras Feige dari ISCC.

Alain menjelaskan tujuan dari sesi ini untuk mendengarkan harapan dan solusi yang diharapkan ke depan. “Solusi seperti apa dalam kondisi apa untuk mencapai konsensus global dalam standar keberlanjutan kelapa sawit, ini yang kita diskusikan bersama,” katanya.

Stephen Krecik menjelaskan konsensus standar mesti menjadi peluang pembelajaran kolaboratif untuk peningkatan nilai.“Standar keberlanjutan itu seperti reputasi. Bagaimana cara dikembangkan ke depan? Perlu upaya kolaboratif untuk peningkatan nilai,” ucapnya.

Sementara Michael Buki menilai semakin banyak orang yang ikut diskusi dalam mewujudkan konsensus global dalam standar keberlanjutan kelapa sawit, semakin bagus penerimaannya di pasar. “Perlu legitimasi dari berbagai pihak, misalnya NGO, perlu konsolidasi ke pemerintah pusat, butuh kolaborasi, bukan kompetisi.Ada banyak ruang untuk bertumbuh dan masih banyak ruang untuk perbaikan,” ucapnya.

Michael Buki juga menyoroti topik besar yakni kekhawatiran Uni Eropa melarang masuknya sawit. Meski demikian, dia menilai pasar eropa itu cukup ramah terhadap sawit. “Perdagangan tahun lalu 2,5 miliar euro, belum pernah sebelumnya, pertumbuhan dua digit. Di sisi lain, ada dialog konstruktif terkait iklim, lingkungan, dan perdagangan,” tuturnya.

Tahun ini, lanjut dia, parlemen Eropa mempertimbangkan mengecualikan biofuel berbasis sawit sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Tapi, Dewan Eropa menyuarakan suara yang berbeda. Karena itu, saat ini parlemen, dewan, komisi Eropa sedang melakukan dialog tiga arah. “Sejarah menunjukkan kami tidak diskriminatif. Tapi betul, Eropa perhatikan betul deforestasi dan sustainable development goals (SDG). Sudah ada indikasi sawit bukan penyebab deforestasi terbesar. Kami coba memahami ekonomi sawit,” paparnya.

Perhatian utama Eropa, kata dia, saat ini lebih ditekankan pada penurunan emisi dan degradasi hutan, kesepakatan Paris, terkait cara menurunkan emisi, serta dukungan apa yang bisa diberikan. “Perhatian kami di Eropa, produksi kelapa sawit RI terus meningkat, apakah sesuai dengan penurunan emisi jangka panjang?” tanyanya.

Konsensus Global

Tiur Rumondang menilai untuk menuju konsensus global, perlu adanya penggabungan beberapa standar berkelanjutan kelapa sawit yang ada saat ini. “Ketika mau penggabungan beberapa standar, kita harus lihat kesamaan. Mencari kesamaan ini menjadi tantangannya,” ujarnya.

Meski demikian, Tiur menegaskan, pihaknya siap menggabungkan standar berkelanjutan RSPO ke dalam ISPO. “Kami sudah mengakomodir peraturan perundangan-undangan Indonesia,” paparnya.

Dia menjelaskan, dalam mencari kesamaan antara standar yang ada, dibutuhkan metodologi tertentu yang dapat menyatukan kesenjangan antara standar-standar itu. “Dalam nilai keberlanjutan, kami dari RSPO sangat menghargai multistakeholder. Transparansi juga sangat penting. Ini menjadi kesenjangan. Makanya cukup sulit untuk menyatukan ini. RSPO dari industri, yang satu lagi (ISPO) dari pemerintah,” ucapnya.

Sebagai gambaran, lanjut dia, RSPO didirikan 2014.Tujuannya untuk menghasilkan sawit berkelanjutan dengan pendekatan multistakeholders. RSPO saat ini beroperasi di 9 negara. “Maret 2018, kami sudah mencakup 19% dari supply CPO di seluruh dunia, atau 12,43 juta ton CPO,” paparnya.

Sementara untuk ISPO, kata Azis Hidayat, sudah diberikan sertifikasi diberikan kepada 342 perusahaan, 3 koperasi, 1 smallholders, mencakup 2,41 juta ha dan produksi 8,75 juta ton sampai Desember 2017. “Total sertifikat ISPO yang sudah diberikan mencapai 346,” ujarnya.

Pentingnya ISPO karena Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar. Tujuan ISPO sangat berbeda, yakni menegakkan peraturan pemerintah bagi rantai pasok sawit, memposisikan sawit berkelanjutan sebagai posisi penting bagi perekonomian, mendukung Indonesia untuk penurunan emisi rumah kata.

“ISPO mengadopsi 16 Undang-undang termasuk prinsip internasional. Komisi ISPO terdiri dari eselon 1 Kementan, juga Badan Standarisasi Nasional (BSN), Gapki, DMSI, LSM, akademisi,” ucapnya.(in depth news)

Sumber: klik di sini

* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 153 database, klik di sini
** Butuh 20 Kumpulan Database Otomotif, klik di sini
*** Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
**** Butuh copywriter specialist, klik di sini
***** Butuh content provider, klik di sini

Minggu, 29 April 2018

153 Data-Data Industri Berbasis Riset Tematik

Persaingan antar perusahaan semakin ketat. Kemampuan perusahaan untuk mengendalikan harga jual pun kini menjadi terbatas. Tidak lagi mudah bagi produsen mematok laba yang tinggi dengan menaikkan harga. Sebab harga yang tinggi membuat produk tersebut akan dijauhi oleh pembelinya. Pembeli akan lebih beralih ke produk yang berkualitas baik, namun berharga murah, serta mempunyai layanan purna jual cepat dan mudah. Ironisnya, dengan kondisi pasar yang semakin sulit ini, manajemen justru dituntut untuk meningkatkan laba perusahaan. Tidak ada pilihan lain, bahwa tuntutan itu hanya bisa dilakukan jika perusahaan mampu menurunkan biaya (cost reduction) dan menghilangkan proses-proses yang tidak memberikan nilai tambah.

Berbicara nilai tambah, makin banyak perusahaan yang memanfaatkan teknologi informatika terkini untuk meningkatkan kemampuan dan strategi penetrasi pasar. Tak ketinggalan teknologi big data.


Karena itu, Duniaindustri.com, sebuah startup khusus di segmen industri, berupaya untuk memfasilitas hal tersebut dengan terus mengupdate database industri. Selain itu, Duniaindustri.com juga meningkatkan pelayanan bagi pelanggan dan keamanan bertransaksi online dengan mengadopsi teknologi "easy digital download". Dengan teknologi ini, user atau pelanggan dapat dengan mudah bertransaksi serta mengakses database industri secara lebih cepat, praktis, kapanpun dan di manapun berada.

Saat ini lebih dari 153 data historis industri dari berbagai sektor industri manufaktur (tekstil, agro, kimia, makanan-minuman, elektronik, farmasi, otomotif, rokok, semen, perkapalan, dan lainnya), komoditas, pertanian, perkebunan, sumber daya mineral, logistik, infrastruktur, properti, perbankan, reksadana, media, consumer, hingga makro-ekonomi, menjadi kumpulan database di duniaindustri.com.

Per awal April 2017, detektif industri juga dilengkapi tools (instrumen analisis) untuk melakukan market intelligence (competitor intelligence) dengan lebih terukur, komprehensif, dan berkesinambungan. Duniaindustri.com juga memperluas coverage basis data dan database spesifik guna menangkap seluruh aktivitas industri di seluruh sektor usaha di Indonesia.



Sumber: di sini
* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 153 database, klik di sini
** Butuh 20 Kumpulan Database Otomotif, klik di sini
*** Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
**** Butuh copywriter specialist, klik di sini
***** Butuh content provider, klik di sini

Antara Minyak Sawit, Isu Deforestasi, dan Eropa

Duniaindustri.com (April 2018) BALI – Uni Eropa dinilai mustahil melarang penggunaan minyak sawit, terutama untuk produk pangan, karena alternative substitusi justru bermasalah serta sulit menggantikan volume pasokan yang begitu besar dalam waktu singkat. Hal itu diungkap Chairman LMC International, James Fry, dalam konferensi pers yang diselenggarakan di sela-sela ICOPE 2018.

“Jika masyarakat melihat realitas hari ini, saya yakin mustahil bagi Eropa untuk secara mudah menggantikan minyak sawit,” ujar James. James Fry merupakan salah satu pihak yang membuat kajian deforestasi sebagai rujukan bagi Parlemen Eropa.

Menurut dia, dalam laporan Komisi Eropa saat ini juga terjadi beberapa diskusi dan pertentangan. “Jika Eropa mem-banned minyak sawit seluruhnya, secara mendadak Anda akan kehilangan pasar sekitar 6-7 juta ton, kemudian timbul pertanyaan apa yang akan menggantikannya?” tanyanya.

Fry menerangkan, minyak nabati yang potensial menggantikan minyak sawit adalah soyabean. “Tapi soyabean juga bermasalah. Konsumen Eropa tidak akan konsumsi soyabean yang merupakan modifikasi genetik. Karena harus dipasang label khusus, dan supermarket tidak suka dengan label ini,” paparnya.

Di sisil ain, tambah dia, begitu banyak produk makanan berbasis palm kernel oil. Jika digantikan oleh soyabean, maka akan timbul kebencian yang lebih besar di kalangan LSM di Eropa karena merupakan modifikasi genetik. “Jadi soyabean oil mengandung masalah,” ucapnya.

Selain soyabean, dia menerangkan, alternative substitusi minyak sawit adalah rapeseed oil. Eropa memproduksi rapeseed oil, tapi tidak cukup menggantikan volume minyak sawit. Tidak logis impor rapeseed atau yang setara yakni minyak kanola dari Kanada dan Australia. Minyak nabati ini juga hasil modifikasi genetik. Kecuali jika Eropa berani menjadi pembeli besar minyak alternative dan mendorong kenaikan harga minyak dari modifikasi genetik serta membawanya ke Eropa.

“Tapi saya yakin konsumen di Eropa tidak akan senang, jika mendadak semua produk pangan yang dia konsumsi mengandung modifikasi genetik,” paparnya.

Eddy Esselink, Ketua Aliansi Sawit Eropa (EPOA), juga menilai tidak logis dan mustahil untuk menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya.“Penggunaan minyak sawit sudah sangat luas di produk-produk yang dikonsumsi masyarakat Eropa. Tidak mungkin menggantikannya secara mendadak,” paparnya.

Menurut Esselink, EPOA dibentuk pada 2013 untuk mematahkan stigma negative tentang minyak sawit. “Komitmen EPOA adalah mencapai sawit berkelanjutan di Eropa dengan cara memberi inisiatif di seluruh Eropa,” ujar Esselink.

Ia juga menyebut public perlu mendengar kisah lengkap tentang perkembangan sawit. Menurutnya, kebutuhan minyak nabati akan terus meningkat seiring dengan penambahan populasi di dunia. Untuk itu keberlanjutan sektor sawit perlu dijaga. Ada sederet ide kunci pendorong keberlanjutan sektor sawit yang dilontarkan Esselink.

Tiga di antaranya adalah tanggung jawab menjaga rantai pasok, kolaborasi, dan memastikan efektivitas dampak keberlanjutan. Dari seluruh ide kunci yang dilontarkan, Program Manager Sustainable Development MVO itu member penekanan pada kolaborasi. “Hasil positif bias dicapai apabila kolaborasi muncul dari hasil kerjasama yang bagus dengan rantai pasok,” paparnya. Semua inisiatif yang diluncurkan parapemangku kepentingan di Eropa itu juga sejalan dengan 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).

Isu kelapa sawit berkelanjutan menjadi bahasan utama dalam konferensi internasional tentang kelapa sawit dan lingkungan atau International Conference on Oil Palm and the Environment (ICOPE) 2018 yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 25-27 April 2018. Lebih dari 400 delegasi dari 30 negara hadir untuk membahas isu-isu strategis tentang keberlanjutan industri kelapa sawit.

Isu Sustainable Palm Oil 

Chairman ICOPE 2018 JP Caliman, menjelaskan ICOPE telah mendapatkan pengakuan global dalam komunitas ilmiah sebagai sumber daya yang berguna dan tidak bias untuk hal-hal yang berkaitan dengan produksi minyak sawit dan keberlanjutan. ICOPE adalah satu-satunya konferensi internasional yang didedikasikan untuk kelapa sawit dan lingkungan dengan jumlah peserta sebesar itu.

“ICOPE dimulai 11 tahun yang lalu oleh tiga mitra yang berbagi nilai yang sama untuk tujuan mencapai keberlanjutan industri kelapa sawit, bersemangat untuk bekerja dalam kolaborasi, dan merengkuh kepercayaan dalam sains,” ujarnya dalam sambutan pembukaan ICOPE 2018.

Franky Oesman Widjaja, Chairman dan CEO Sinar Mas Agribusiness and Food, menambahkan ICOPE 2018 juga bertujuan untuk membahas masa depan industri kelapa sawit. “Komunitas global semakin mempertanyakan sektor minyak kelapa sawit tentang kemampuannya untuk menghentikan deforestasi, memberikan mata pencaharian positif dan berkontribusi untuk memberi makan populasi dunia yang terus tumbuh secara berkelanjutan.Selama ICOPE 2018, saya yakin kita bisa bersama-sama menunjukkan kepada dunia apa yang sudah kita lakukan dan bagaimana masa depan yang berkelanjutan untuk kelapa sawit,” ujarnya.

Untuk mencapai kesuksesan, lanjut dia, seluruh pihak yakni akademisi, pemain industri, pemerintah, pelanggan, konsumen, anggota masyarakat, LSM dan ilmuwan harus bersatu dan selaras pada pemahaman dan tujuan bersama. “Ada persepsi publik bahwa sektor minyak sawit tidak peduli dengan lingkungan atau jutaan orang yang membentuk industri ini.Saya mengerti mengapa persepsi ini ada. Seperti industri lain, kami memiliki sejarah yang bagus. Dan saya percaya persepsi ini tidak dibenarkan sekarang.Perubahan sedang terjadi, di perusahaan saya sendiri dan di seluruh sektor,” katanya.

Menurut Franky, keberlanjutan hanya dapat dicapai ketika ada keseimbangan antara peluang ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. “Masalah ini menjadi kunci dari sektor minyak sawit berkelanjutan dan merupakan komponen kunci dari tema untuk ICOPE 2018 yakni Solusi untuk Produksi Lokal,” paparnya.

Untuk mencapai ketahanan pangan, lanjut dia, harus diberikan peluang ekonomi yang difokuskan untuk memberdayakan petani kecil. Pada tahun 2050, akan ada 10 miliar orang yang perlu diberi makan. “Diperkirakan dibutuhkan 200,25 juta ton minyak nabati untuk membantu memberi makan orang-orang ini.Dari mana asalnya?Jika Anda memilih minyak kedelai, Anda akan membutuhkan 445 juta hektar lahan pertanian.Jika Anda memilih kelapa sawit, hanya 40 juta hektar lahan pertanian yang akan dibutuhkan,” jelasnya.

Dia menjabarkan industri minyak kelapa sawit merupakan industri utama dan penting di Indonesia. Sektor industri ini merupakan mesin ekonomi yang menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan jutaan orang Indonesia. “Industri minyak sawit mempekerjakan 21,2 juta orang secara langsung dan tidak langsung, menghasilkan US$ 21,25 miliar dari ekspor pada 2017,” ucap Wakil Ketua Kadin Bidang Agribisnis, Pangan, dan Kehutanan itu.

Terlebih lagi, lanjut dia, sector industry ini menyediakan pendidikan dasar dan perawatan kesehatan bagi orang yang bekerja dan tinggal di sekitar perkebunan.Setiap 10.000 hektar perkebunan kelapa sawit memiliki sekolah dan klinik. “Anda dapat membayangkan berapa banyak sekolah dan klinik yang dibangun di daerah terpencil yang diuntungkan oleh masyarakat di sekitar area tersebut,” pungkasnya.(in depth news/tim redaksi 01*)

Sumber: klik di sini

* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 153 database, klik di sini
** Butuh 20 Kumpulan Database Otomotif, klik di sini
*** Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
**** Butuh copywriter specialist, klik di sini
***** Butuh content provider, klik di sini